MENTERI TIDAK BERWENANG UNTUK MEMBERHENTIKAN PEJABAT FUNGSIONAL WIDYAISWARA UTAMA GOLONGAN IV/E DARI DAN DALAM JABATANNYA
HUKUM ACARA DAN TENGGANG WAKTU
KELALAIAN PEJABAT TUN DI DALAM PENGIRIMAN KEPUTUSAN TUN KEPADA RAKYAT/WARGA NEGARA, YANG MENYEBABKAN TENGGANG WAKTU PENGAJUAN GUGATAN KE PENGADILAN MENJADI BERGESER, MERUPAKAN KESALAHAN PIHAK ADMINISTRASI, SEHINGGA TIDAK DAPAT MENJADI BEBAN YANG MERUGIKAN HAK PENGGUGAT SEBAGAI RAKYAT/WARGA MASYARAKAT PENCARI KEADILAN
PEMOHON KASASI/ PENGGUGAT BARU MENERIMA SK MENHUT SECARA FISIK PADA SAAT PEMERIKSAAN PERSIAPAN, HAL MANA MERUPAKAN AKIBAT KELALAIAN TERMOHON KASASI/TERGUGAT SEBAGAI PEJABAT TATA USAHA NEGARA, SEHINGGA TIDAK PATUT MENJADI BEBAN YANG MERUGIKAN PEMOHON KASASI/PENGGUGAT SEBAGAI PENCARI KEADILAN. MAKA PERHITUNGAN TENGGANG WAKTU UNTUK MENGAJUKAN GUGATAN HARUS DIHITUNG SEJAK PEMOHON KASASI/PENGGUGAT MENERIMA SK, I.C PADA TANGGAL 9 FEBRUARI 2006, SEHINGGA GUGATAN YANG DIAJUKAN OLEH PENGGUGAT MASIH DALAM TENGGANG WAKTU YANG DIMAKSUD DALAM PASAL 55 UU 9/2004
BAHWA OLEH KARENA OBYEK GUGATAN TERSEBUT RATA-RATA SEKITAR TAHUN 1987, SEDANGKAN GUGATAN DIAJUKAN KE PENGADILAN TATA USAHA NEGARA BANDUNG TANGGAL 26 JANUARI 2000, SEHINGGA TELAH MELEWATI TENGGANG WAKTU 90 HARI SEBAGAIMANA DIATUR OLEH PASAL 55 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986
PENGERTIAN "RAPAT PERMUSYAWARATAN" DALAM PASAL 62 (1) UU NOMOR 5 TAHUN 1986 DIARTIKAN SEBAGAI "RAAD KAMER", DALAM PEMERIKSAAN KAMAR TERTUTUP, DILAKUKAN OLEH KETUA PENGADILAN TANPA ADANYA PROSES ANTAR PIHAK-PIHAK DAN TANPA DILAKUKAN PEMERIKSAAN DIMUKA UMUM, HAL MANA SESUAI DENGAN MAKSUD DAN HAKEKAT ACARA SINGKAT DALAM PROSES DISMISSAL PROCEDURE
JANGKA WAKTU TERMAKSUD DALAM PASAL 55 UU NOMOR 5 TAHUN 1966, HARUS
DIHITUNG SEJAK PENGGUGAT MENGETAHUI ADANYA KEPUTUSAN YANG MERUGIKANNYA
KEHATI-HATIAN DAN KECERMATAN PEJABAT
MESKIPUN BERDASARKAN PP NOMOR 75 TAHUN 2001 TERGUGAT SEBAGAI PEJABAT TATA USAHA NEGARA (TUN) BERWENANG MENERBITKAN KEPUTUSAN KUASA PERTAMBANGAN DI WILAYAHNYA, DENGAN TELAH DIKETAHUINYA AREAL PERTAMBANGAN PT. ARUTMIN INDONESIA ADA DI WILAYAH KABUPATEN TANAH LAUT (DI WILAYAH TERGUGAT), MAKA SEHARUSNYA TERGUGAT BERHATI-HATI DAN MEMPERTIMBANGKAN SECARA CERMAT PADA WAKTU MEMPERSIAPKAN KEPUTUSAN A QUO DENGAN TERLEBIH DAHULU MENCARI GAMBARAN YANG JELAS MENGENAI SEMUA FAKTA YANG RELEVAN MAUPUN SEMUA KEPENTINGAN PIHAK KETIGA, SEBELUM TERGUGAT MENGAMBIL KEPUTUSAN UNTUK MEMBERI KUASA PERTAMBANGAN DIWILAYAH TANAH LAUT, AGAR TIDAK MENIMBULKAN PERMASALAHAN HUKUM DI KEMUDIAN HARI, KARENA ADANYA TUMPANG TINDIH AREAL KUASA PERTAMBANGAN.
PEMBERIAN IZIN OLEH BADAN/PEJABAT TATA USAHA NEGARA TERHADAP SUATU PERUSAHAAN LAIN YANG MEMILIKI IZIN (IZINNYA BELUM DICABUT) ADALAH MELANGGAR AZAS-AZAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK. KARENA PEMBERIAN IZIN SEPERTI ITU BERSIFAT FIKTIF NEGATIF
HAK GUGAT
SUATU PERSEROAN TERBATAS (PT) YANG BERTINDAK SEBAGAI PEMBELI ATAS PERSEROAN TERBATAS (PT) LAIN, TIDAK MEMPUNYAI KWALITAS ATAU STANDING UNTUK MENGGUGAT SUATU KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA YANG MENYANGKUT PERSEROAN TERBATAS (PT) YANG AKAN DIBELINYA ITU, SEPANJANG PERSEROAN TERBATAS (PT) PEMBELI BELUM MELUNASI SELURUH HARGA PEMBELIAN SEBAGAIMANA YANG DIPERJANJIKAN
PENERAPAN HUKUM
BAHWA MENGENAI KETENTUAN PPN BERDASARKAN PASAL II UU NOMOR 11 TAHUN 1994 BELAKU AZAS LEX GENERALIS BAGI PENGUSANA KENA PAJAK PADA UMUMNYA (PASAL II HURUF A) DAN BERLAKU AZAS LEX SPESIALIS BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK DIBIDANG PERTAMBANGAN MIGAS, PERTAMBANGAN UMUM TERMASUK PANAS BUMI DAN PERTAMBANGAN LAINNYA (PASAL II HURUF B). OLEH KARENANYA PUTUSAN PENGADILAN PAJAK YANG MENDASARKAN PASAL II HURUF A UU NOMOR 11 TAHUN 1994 ATAS PENGUSAHA KENA PAJAK BERDASARKAN AZAS LEX SPESIALIS ADALAH TELAH SALAH DALAM MENERAPKAN HUKUM
RUANG LINGKUP DAN WEWENANG PEJABAT TATA USAHA NEGARA
BAHWA PERADILAN TATA USAHA NEGARA TIDAK BERWENANG UNTUK MENENTUKAN BENTUK JENIS HUKUMAN DISIPLIN TERHADAP PEGAWAI NEGERI SIPIL, MELAINKAN KEWENANGAN TERSEBUT SEPENUHNYA BERADA PADA PEJABAT TATA USAHA NEGARA
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) YANG DILAKUKAN OLEH PENGUSAHA BANK INTERNASIONAL INDONESIA (BII) TERHADAP SAUDARA M.L. TOBING TANPA SEIJIN P4P, PADAHAL PEKERJA YANG BERSANGKUTAN SUDAH MENJADI PEKERJA WAKTU TIDAK TERTENTU (PEKERJA TETAP), DISAMPING ITU DASAR PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) KARENA KETIDAK KEMAMPUAN/KETIDAK DISIPLINAN HARUS DIBUKTIKAN TERLEBIH DAHULU
BAHWA KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NO. 453/KMK.0412002 TANGGAL 30 OKTOBER 2002 TENTANG TATA LAKSANA KEPABEANAN DI BIDANG IMPOR TIDAK SAH DAN TIDAK BERLAKU UNTUK UMUM, KARENA KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TERSEBUT BERTENTANGN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI, YAKNI KEPUTUSAN PRESIDEN RI NO. 102 TAHUN 2001 PASAL 21 HURUF I
BUKAN WEWENANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA
BAHWA BERDASARKAN PASAL 37 UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1997 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA, GUGATAN HANYA DAPAT DIAJUKAN KEPADA BPSP. OLEH KARENA ITU PERADILAN TATA USAHA NEGARA TIDAK BERWENANG UNTUK MEMERIKSA DAN MEMUTUSNYA.
BAHWA SANGGAHAN/GUGATAN TERHADAP PELAKSANAAN SURAT PAKSA HANYA DAPAT DIAJUKAN KEPADA BADAN PERADILAN PAJAK. SEBELUM BADAN PERADILAN PAJAK TERBENTUK DIAJUKAN KEPADA PENGADILAN NEGERI (UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN PASAL 23 AYAT(2) DAN PENJELASANNYA)
PEKERJA DAN PEGAWAI
BAHWA BAGI PEKERJA YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELANGGAR HUKUM YANG TERMASUK DALAM KATEGORI KESALAHAN BERAT SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 18 AYAT(1) HURUF N DAN K KEPUTUSAN MENAKER NOMOR KEP. 150/MEN/2000 DAPAT DIKENAKAN SANKSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
BAHWA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPEGAWAIAN MASALAH TANGGAL BERLAKUNYA PENURUNAN PANGKAT ADALAH KEWENANGAN PEJABAT ADMINISTRASI YANG BERSANGKUTAN, NAMUN DEMIKIAN HAL INI TIDAK BERAKIBAT BATALNYA PUTUSAN PENGADILAN TINGGI DAN CUKUP DILAKUKAN PERBAIKAN SAJA
PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT ATAS PERMINTAAN SENDIRI ATAS PELANGGARAN DISIPLIN BERDASARKAN PASAL 4A PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 30 TAHUN 1980, BERTENTANGAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERSIFAT PROSEDURAL/FORMAL, KARENA PELANGGARAN DISIPLIN BERDASARKAN PASAL 4A PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 30 TAHUN 1980 HANYA LEBIH TEPAT DIJATUHI HUKUMAN BERUPA PENURUNAN PANGKAT YANG SETINGKAT LEBIH RENDAH UNTUK PALING LAMA 1 (SATU) TAHUN.
BAHWA UNTUK DAPAT MELAKUKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DENGAN SURAT PERINGATAN HARUS MEMENUHI KETENTUAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NO. PER03/MEM/1996 PASAL 7 AYAT(2) DAN AYAT(3)
SENGKETA ANTARA DOSEN DENGAN YAYASAN
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 30 TAHUN 1990 PASAL 116 MENENTUKAN BAHWA YAYASAN YANG BERGERAK DIBIDANG PENDIDIKAN TINGGI MERUPAKAN KEPANJANGAN TANGAN DARI PEMERINTAH UNTUK MENYELENGGARAKAN URUSAN PEMERINTAH DIBIDANG PENDIDIKAN. DENGAN DEMIKIAN PANITIA PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN TIDAK BERWENANG UNTUK MENYELESAIKAN SENGKETA ANTARA DOSEN DENGAN YAYASAN YANG BERGERAK DI BIDANG PENDIDIKAN TINGGI KARENA SENGKETA TERSEBUT BUKAN MERUPAKAN HUBUNGAN INDUSTRIAL TETAPI MERUPAKAN HUBUNGAN DI BIDANG PENDIDIKAN
PERTANAHAN
BAHWA BERDASARKAN PASAL 45 AYAT(1) PP NOMOR 24 TAHUN 1997, KEPALA KANTOR PERTANAHAN TIDAK BOLEH MELAKUKAN PENDAFTARAN PERALIHAN HAK JIKA TANAH YANG BERSANGKUTAN MERUPAKAN OBYEK SENGKETA DI PENGADILAN.
YANG BERASAL DARI HAK BARAT (EIGENDOM): BAHWA TANAH YANG BERASAL DARI HAK BARAT (EIGENDOM) TELAH KEMBALI KEPADA NEGARA, MAKA LURAH DAN CAMAT TIDAK BERWENANG UNTUK MENGELUARKAN SURAT KETERANGAN TENTANG STATUS KEPEMILIKAN ATAS TANAH TERSEBUT
BANGUNAN YANG SEJAK SEMULA DIDIRIKAN TANPA IJIN MENDIRIKAN BANGUNAN (IMB), MESKIPUN TANAH DAN BANGUNAN ITU DIPERJUAL BELIKAN KEPADA PIHAK KETIGA DAN PIHAK KETIGA MENGAJUKAN IMB ATAS BANGUNAN ITU, TETAP BAHWA BANGUNAN LAMA ITU MENYALAHI ATURAN
PROSEDUR PENGAJUAN HAK UJI MATERIIL BELUM DIATUR
PERMOHONAN AGAR MAHKAMAH AGUNG-RI MENGUJI SECARA MATERIIL DAN MENYATAKAN BAHWA PENETAPAN NOMO 01/PER/MENPEN/1984 BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG POKOK PERS DAN KARENANYA HARUS DIANGGAP BATAL DEMI HUKUM, TIDAKLAH DAPAT DINILAI, KARENA MENTERI PENERANGAN TIDAK DIIKUT SERTAKAN SEBAGAI PIHAK TERMOHON UNTUK MENGEMUKAKAN PENDAPATNYA DAN MENJELASKAN MOTIVASI HUKUM YANG RELEVAN YANG MENJADI DASAR DITERBITKANNYA PERATURAN TERSEBUT. OLEH KARENA PROSEDUR PENGAJUAN HAK UJI MATERIIL BELUM DIATUR DENGAN UNDANG-UNDANG SESUAI PASAL 79 UU MAHKAMAH AGUNG NOMOR 14 TAHUN 1985, MAHKAMAH AGUNG AKAN MENGATUR LEBIH LANJUT DENGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG