Menjaminkan tanah dan jual beli itu adalah jelas hal yang berbeda. Masalahnya, kerap kali terjadi kesalah-pahaman, atau bahkan kesengajaan hingga terjadinya modus menjaminkan sertifikat tanah tetapi diminta menandatangani akta kuasa jual dan akta jual beli, lantaran ketidaktahuan orang akan konsekuensi dari sebuah perjanjian yang ditandatangani.
Ketika seseorang sedang dalam keadaan sangat membutuhkan uang di satu pihak dan orang yang akan meminjamkan uang di satu pihak lagi, sering lupa diri dan abai dengan hal-hal yang menyangkut hukum. Karena dalam situasi mendesak dan lain-lain, adakalanya si peminjam diminta dan mau melakukan hal-hal yang tak seharusnya, yakni menandatangani dokumen-dokumen tertentu, seperti akta kuasa jual, akta pengikatan jual beli, dan bahkan menandatangani akta jual beli tanah.
Hal itu kerap dilakukan oleh orang yang meminjamkan (kreditur) untuk menghindari kerugian manakala si peminjam lalai atau gagal melakukan pengembalian atau pelunasan. Selain itu, ada juga kemungkinan (modus) bahwa orang yang meminjamkan telah mempunyai niat buruk sebelumnya, yang berharap si peminjam gagal menyelesaikan hutangnya supaya ia dapat memiliki jaminan (berupa tanah) hutangnya.
Akta Kuasa Mutlak Melanggar Hukum Tindakan dan niat diatas tentu tidaklah dapat dibenarkan hukum. Karena pada pokoknya, dalam hal si peminjam gagal menyelesaikan hutangnya, pihak yang meminjamkan tidaklah otomatis berhak memiliki Jaminan sebelum mengikuti beberapa tahap dan prosedur, termasuk proses pelelangan.
Membuat Surat Kuasa juga harus mengindahkan aturan hukum yang ada. Dalam membuat Surat Kuasa Jual oleh peminjam kepada yang meminjamkan misalnya. Adalah sebuah pelanggaran hukum bila penerima kuasa sekaligus menjadi pembeli atas objek jaminan.
Praktik semacam ini marak terjadi di masyarakat. Sayangnya banyak orang tidak sadar bahwa hal tersebut dapat berarti telah terjadi pelanggaran hukum dengan dugaan praktik Kuasa Mutlak.
Berikut ini adalah dasar-dasar hukum yang melarang praktik Kuasa Mutlak di Indonesia:
- Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 yang mulai berlaku tanggal 6 Maret 1982 telah melarang pemberian Kuasa mutlak untuk melakukan jual beli tanah yang selengkapnya berbunyi:
”Kuasa Mutlak merupakan pemindahan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknya” ;
- Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 2817 K/Pdt/1994 disebutkan:
“Bahwa jual beli yang dilakukan dengan dasar Kuasa Mutlak adalah tidak sah dan batal demi hukum” ;
- Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 401 K/Sip/1972:
"Barang Jaminan Tidak Otomatis Menjadi Milik Yang Menghutangkan Apabila Yang Berhutang Wanprestasi"
- Putusan MA Nomor Register: 1074 K / Pdt / 95 Tanggal 18 Mei 1996:
"Perjanjian hutang piutang dengan jaminan tanah tidak dapat digantikan menjadi perjanjian jual beli tanah jaminan bila tidak ada kesepakatan mengenai harga tanah tersebut";
- Putusan MA Nomor Register: 1400 K / Pdt / 2001 Tanggal 2 Januari 2003, telah menetapkan sebuah kaidah hukum bahwa:
- Barang jaminan hanya dapat dijual melalui lelang, Kreditur tidak berhak menjual sendiri, tanah yang dijaminkan pada Kreditur tanpa seijin pemiliknya;
- Pengalihan hak atas tanah berdasarkan Surat Kuasa mutlak batal demi hukum.
Diperlukan kehati-hatian dan advis hukum sebelum menandatangani sebuah akta jual beli rumah & tanah untuk menghindari kerugian-kerugian di masa mendatang. Anda juga dapat segera membatalkan perjanjian semacam ini, bahkan dapat menuntut kembali kerugian-kerugian yang timbul dari praktik jual beli rumah dan tanah yang tidak sah.
Bila Anda ingin konsultasi dan atau membutuhkan penanganan kasus hukum,
Hubungi kami: ProVeritas Lawyers