a a a a a
Logo Header  Header Kanan  Footer
JAM KANTOR
Senin - Jum’at 09 : 00 - 17 : 00
KONSULTASI
+6287777794718
Logo Header  Header Kanan  Footer
Perlindungan Hukum Bagi Peminjam Pemberi Pinjaman atau Pembeli atas Objek Jaminan atau Objek Jual Beli
Perlindungan Hukum Bagi Peminjam, Pemberi Pinjaman atau Pembeli atas Objek Jaminan atau Objek Jual Beli
Hutang-piutang dan Jaminan
Dalam mengajukan pinjaman baik kepada seseorang ataupun ke lembaga keuangan yang berbadan hukum, biasanya pihak yang akan meminjamkan menentukan adanya syarat jaminan. Jaminan atau yang sering juga disebut agunan adalah aset milik peminjam yang dijanjikan kepada pemberi pinjaman dalam hal mengantisipasi peminjam tidak dapat menyelesaikan atau melunasi pinjaman sebagaimana diperjanjikan.

Jaminan berfungsi sebagai pegangan pihak yang akan meminjamkan.
Pada pokoknya, jika peminjam gagal bayar, pihak pemberi pinjaman dapat memanfaatkan sebagian atau keseluruhan dari hasil penjualan jaminan dimaksud. Penjualan jaminan milik peminjam oleh pemberi pinjaman umumnya dilakukan melalui proses lelang.

Dalam hukum, pemberi pinjaman memang tidak serta merta dapat memiliki jaminan milik pemberi jaminan dalam hal peminjam gagal bayar. Sebab Jaminan Tidak Dimaksudkan Untuk Secara Langsung Mengganti Pinjaman atau Sisa Pinjaman Dalam Hal Peminjam Gagal Bayar. Beberapa jurisprudensi Mahkamah Agung telah menguatkan hal tersebut bahwa objek jaminan tidak otomatis beralih menjadi milik pemberi pinjaman dalam hal peminjam gagal bayar.

Pada beberapa kasus, peminjam (debitur) menyerahkan sertifikat tanah dan rumah kepada yang akan meminjamkan (kreditur). Namun ada saja debitur yang oleh karena berbagai alasan mengajukan pinjaman kembali dengan menjaminkan kembali atau menjanjikan tanah dan rumahnya menjadi jaminan. Oleh karena berbagai alasan-alasan juga, ada saja pemberi pinjaman memberikan pinjaman tanpa bukti kepemilikan atas jaminan yang dijanjikan.

Pada beberapa kasus lain, peminjam yang telah menjaminkan tanah dan rumahnya (objek jaminan) kepada pihak pemberi pinjaman dengan penyerahan sertifikat atau bukti kepemilikan lainnya, menjual lagi objek jaminan dimaksud kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan pemberi pinjaman sebelumnya. Hal itu tentu tidaklah dapat dibenarkan dan telah melanggar hukum.

Pertanyaanya:

  1. Bagaimana perlindungan hukum kepada pemberi pinjaman (pemegang hak tanggungan berupa sertifikat milik peminjam) dalam hal peminjam pada akhirnya gagal menyelesaikan kewajibannya kepada pemberi pinjaman?

  2. Bagaimana nasib pembeli tanah dan rumah yang terlanjur menganggap bahwa tanah dan rumah tersebut adalah sah miliknya?

  3. Langkah hukum apa saja yang dapat ditempuh oleh pemberi pinjaman dan pembeli tanah dan rumah tersebut kepada peminjam atau penjual?

  4. Hak-hak apa saja yang masih dilindungi hukum terhadap peminjam atau penjual tadi?

Masing-masing pihak yakni Pemberi Pinjaman, Pembeli Tanah dan Rumah, dan Peminjam (Penjual) mendapat perlindungan hukum sesuai porsinya. Yang harus diketahui dalam hukum, bahwa ketidaksalahan bukanlah alasan menguasai secara bebas pihak yang bersalah, dan pihak yang bersalah tidaklah serta merta kehilangan semua hak hukumnya, terutama hak-hak hukum yang tidak diketahuinya.

Dasar hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer);

  • Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah;

  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman;

  • Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No.11/PRT/M/2019 Tahun 2019;

  • Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 401 K/Sip/1972;

  • Putusan MA Nomor Register: 1074 K / Pdt / 95 Tanggal 18 Mei 1996;

  • Putusan MA Nomor Register: 1400 K / Pdt / 2001 Tanggal 2 Januari 2003.


Bila Anda ingin konsultasi dan atau membutuhkan penanganan kasus hukum,
Hubungi kami: ProVeritas Lawyers

Read More
Perjanjian Yang Menjebak Antara Pengusaha Dan Konsumen
Perjanjian Yang Menjebak Antara Pengusaha Dan Konsumen
Perlindungan Konsumen
Perjanjian Tidak Sah dalam Hal Terdapatnya Klausula Baku dan Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian

Hukum terkait perlindungan konsumen kian mendapat perhatian guna menjamin kepastian hukum yang lebih adil bagi konsumen. Hal itu berangkat dari kesadaran bahwa antara pengusaha dan konsumen acap tidak berada dalam posisi setara. Dalam berbagai keadaan, konsumen kerap dalam posisi lemah bila berhadapan dengan pengusaha.

Hubungan antara pengusaha sebagai penjual barang dan atau jasa dengan konsumen misalnya sering berlangsung tidak adil. Kondisi emosional kebanyakan konsumen yang diburu keinginanan akan sesuatu yang ditawarkan oleh pengusaha untuk segera dinikmati atau dimiliki sering tak sadar dimanfaatkan oleh pengusaha atau calon penjual. Dalam keadaan seperti ini, konsumen sering terburu-buru menandatangani dokumen (perjanjian) tanpa membaca secara seksama isi perjanjian terlebih dahulu. Konsumen sering abai akan akibat dari tindakannya berpotensi menimbukan kerugian di suatu waktu oleh jebakan perjanjian yang dibuat sepihak oleh pengusaha.

Dulu hingga sekarang masih terdapat pengusaha yang telah terlebih dahulu menyiapkan draft atau konsep perjanjian dalam rangka menjual barang atau jasanya. Dalam draft dimaksud acap ditemukan hal-hal yang tidak menguntungkan bagi konsumen. Dengan kata lain, dalam draft dimaksud telah dirancang untuk menempatkan pengusaha dalam posisi lebih aman dan kuat. Resiko-resiko bisnis dibuat sedemikian rupa berpihak kepada pengusaha.

Draft perjanjian itu biasanya dicetak dalam jumlah eksemplar yang banyak. Staff perusahaan yang mewakili pimpinan pengusaha akan menyodorkan draf dimaksud untuk ditandatangani oleh konsumen. Dengan demikian, dalam hal terjadi penandatangan dokumen oleh kedua belah pihak, perjanjian dan perikatan diantara keduanya seolah-olah dianggap telah terjadi. Konsumen yang kurang pengetahuan hukum sering menerima begitu saja dengan pasrah. Entah sudah berapa banyak masyarakat sebagai konsumen yang mengalami kerugian oleh karena ketidaktahuannya, sementara itu menjadi keuntungan bagi pengusaha yang berkelanjutan.

Praktik perjanjian yang isinya dibuat sepihak oleh pengusaha dimana usul atau masukan konsumen tidak diberi ruang dikenal dengan istilah klausula baku. Menurut Kamus Hukum Kontemporer oleh M. Firdaus Sholihin dan Wiwin Yulianingsih bahwa klausula baku berarti "setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen." Sedangkan Klausula Eksonerasi menurut I.P.M. Ranuhandoko B.A. dalam bukunya “Terminologi Hukum Inggris-Indonesia” diartikan sebagai “membebaskan seseorang atau badan usaha dari suatu tuntutan atau tanggung jawab.” Dalam pengertian bahwa terdapat klausula yang membebaskan pengusaha dalam hal ditemukan suatu masalah kemudian hari terkait dengan perjanjian.

Meski dalam teori perjanjian mengenal prinsip pacta sunt servanda yakni perjanjian merupakan undang-undang bagi yang membuatnya, tetapi dalam hal ini, tidak lagi sepenuhnya dapat dibenarkan menurut hukum. Pada beberapa tahun belakangan ini topik ini telah melahirkan hukum baru bahwa Perjanjian Tidak Sah dalam Hal Terdapatnya Klausula Baku dan Klausula Eksonerasi dalam perjanjian dimaksud.

Perjanjian yang bermuatan Klausula Baku dan Klausula Eksonerasi bertentangan dengan prinsip hukum. Sebab perjanjian dikatakan sah apabila telah disepakati oleh kedua belah pihak sesuai dengan asas konsensualisme. Sementara itu, asas konsensualisme harus berpedoman pada norma Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur bahwa : “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yakni:

  1. Sepakat mengikatkan diri;

  2. Cakap secara hukum membuat perikatan;

  3. Karena suatu hal tertentu; dan

  4. Suatu sebab yang halal.

Demikianlah penjelasan mengenai perjanjian tidak sah dalam hal terdapatnya klausula baku dan klausula eksonerasi di Indonesia. Semoga informasi ini dapat menyelamatkan konsumen dari jebakan isi perjanjian oleh pengusaha dan pihak-pihak lain yang berbisnis secara serakah.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

  2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

  3. Peraturan Pemerintah No 58 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

  4. Putusan Pengadilan


Bila Anda ingin konsultasi dan atau membutuhkan penanganan kasus hukum,
Hubungi kami: ProVeritas Lawyers
Read More
Perjanjian Perikatan Jual Beli PPJB Rumah
Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) Rumah
Perikatan
Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) adalah perikatan antara calon penjual dan calon pembeli sebelum penandatangan Akte Jual Beli (AJB). Menurut Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No.09/KPTS/M/1995 bahwa PPJB dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai perikatan sebelum para pihak membuat Akta jual beli rumah & tanah.

PPJB dibuat sebagai perikatan awal menuju jual beli rumah misalnya antara pengembang (developer) sebagai pihak penjual dengan pihak pembeli. PPJB pada pokoknya berisi butir-butir kesepahaman dan kesepakatan oleh kedua belah pihak atas rencana kepemilikan rumah yang sedang dibangun. Dalam PPJB itu dinyatakan misalnya bahwa pihak penjual merupakan perusahaan pengembang resmi karena telah melengkapi segala perizinan dan lain-lain sehingga dapat memiliki Surat izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Sedangkan dari sisi pembeli menyatakan kesediaannya untuk membeli rumah yang dibuktikan dengan pemberian panjar (uang muka) atau sering disebut bentuk tanda jadi yang menunjukkan kesungguhannya membeli. Tentu pihak penjual telah terlebih dahulu memeriksa dan menganalisa kelayakan si calon pembeli untuk dinyatakan memenuhi syarat sebagai calon pembeli dalam akte kredit nantinya.

Isi Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB):

  1. Menunjukkan kecakapan kedua belah pihak menuju transaksi final yang sah pada akte jual beli hingga penyerahan kunci rumah kemudian;

  2. PPJB sesungguhnya telah menguraikan segala hal terkait objek perikatan yang akan ditandatangani dalam Akte jual beli rumah & tanah yakni situasi rumah dan tanah, termasuk harga dan luasnya;

  3. Mengatur mekanisme hukum dalam hal kemungkinan terjadinya wanprestasi (ingkar janji) oleh salah satu pihak atas kesepakatan yang tertuang dalam PPJB;

  4. Dan mengatur hal hal lain berupa hak dan kewajiban hukum penjual atau pembeli sebelum dan setelah jual beli meskipun tidak diatur di dalam perjanjian (perikatan).

Sangat penting membaca dan memahami secara utuh isi perikatan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kerugian-kerugian yang tak terpikirkan sebelumnya. Bahkan dibutuhkan kehadiran seorang pendamping hukum sebelum melakukan penandatanganan setiap perikatan terutama dalam bentuk akte. Sebab perjanjian adalah undang-undang bagi para pihak yang menandatanganinya (pacta sunt servanda).

Bila Anda ingin konsultasi dan atau membutuhkan penanganan kasus hukum,
Hubungi kami: ProVeritas Lawyers
Read More
Modus Menjaminkan Sertifikat Tanah Tetapi Diminta Menandatangani Akta Kuasa Jual dan Akta Jual Beli
Modus Menjaminkan Sertifikat Tanah Tetapi Diminta Menandatangani Akta Kuasa Jual dan Akta Jual Beli
Jaminan Hutang
Menjaminkan tanah dan jual beli itu adalah jelas hal yang berbeda. Masalahnya, kerap kali terjadi kesalah-pahaman, atau bahkan kesengajaan hingga terjadinya modus menjaminkan sertifikat tanah tetapi diminta menandatangani akta kuasa jual dan akta jual beli, lantaran ketidaktahuan orang akan konsekuensi dari sebuah perjanjian yang ditandatangani.

Ketika seseorang sedang dalam keadaan sangat membutuhkan uang di satu pihak dan orang yang akan meminjamkan uang di satu pihak lagi, sering lupa diri dan abai dengan hal-hal yang menyangkut hukum. Karena dalam situasi mendesak dan lain-lain, adakalanya si peminjam diminta dan mau melakukan hal-hal yang tak seharusnya, yakni menandatangani dokumen-dokumen tertentu, seperti akta kuasa jual, akta pengikatan jual beli, dan bahkan menandatangani akta jual beli tanah.

Hal itu kerap dilakukan oleh orang yang meminjamkan (kreditur) untuk menghindari kerugian manakala si peminjam lalai atau gagal melakukan pengembalian atau pelunasan. Selain itu, ada juga kemungkinan (modus) bahwa orang yang meminjamkan telah mempunyai niat buruk sebelumnya, yang berharap si peminjam gagal menyelesaikan hutangnya supaya ia dapat memiliki jaminan (berupa tanah) hutangnya.

Akta Kuasa Mutlak Melanggar Hukum
Tindakan dan niat diatas tentu tidaklah dapat dibenarkan hukum. Karena pada pokoknya, dalam hal si peminjam gagal menyelesaikan hutangnya, pihak yang meminjamkan tidaklah otomatis berhak memiliki Jaminan sebelum mengikuti beberapa tahap dan prosedur, termasuk proses pelelangan.

Membuat Surat Kuasa juga harus mengindahkan aturan hukum yang ada. Dalam membuat Surat Kuasa Jual oleh peminjam kepada yang meminjamkan misalnya. Adalah sebuah pelanggaran hukum bila penerima kuasa sekaligus menjadi pembeli atas objek jaminan.

Praktik semacam ini marak terjadi di masyarakat. Sayangnya banyak orang tidak sadar bahwa hal tersebut dapat berarti telah terjadi pelanggaran hukum dengan dugaan praktik Kuasa Mutlak.

Berikut ini adalah dasar-dasar hukum yang melarang praktik Kuasa Mutlak di Indonesia:

  1. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 yang mulai berlaku tanggal 6 Maret 1982 telah melarang pemberian Kuasa mutlak untuk melakukan jual beli tanah yang selengkapnya berbunyi:
    ”Kuasa Mutlak merupakan pemindahan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknya” ;

  2. Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 2817 K/Pdt/1994 disebutkan:
    “Bahwa jual beli yang dilakukan dengan dasar Kuasa Mutlak adalah tidak sah dan batal demi hukum” ;

  3. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 401 K/Sip/1972:
    "Barang Jaminan Tidak Otomatis Menjadi Milik Yang Menghutangkan Apabila Yang Berhutang Wanprestasi"

  4. Putusan MA Nomor Register: 1074 K / Pdt / 95 Tanggal 18 Mei 1996:
    "Perjanjian hutang piutang dengan jaminan tanah tidak dapat digantikan menjadi perjanjian jual beli tanah jaminan bila tidak ada kesepakatan mengenai harga tanah tersebut";

  5. Putusan MA Nomor Register: 1400 K / Pdt / 2001 Tanggal 2 Januari 2003, telah menetapkan sebuah kaidah hukum bahwa:

    • Barang jaminan hanya dapat dijual melalui lelang, Kreditur tidak berhak menjual sendiri, tanah yang dijaminkan pada Kreditur tanpa seijin pemiliknya;

    • Pengalihan hak atas tanah berdasarkan Surat Kuasa mutlak batal demi hukum.

    Diperlukan kehati-hatian dan advis hukum sebelum menandatangani sebuah akta jual beli rumah & tanah untuk menghindari kerugian-kerugian di masa mendatang. Anda juga dapat segera membatalkan perjanjian semacam ini, bahkan dapat menuntut kembali kerugian-kerugian yang timbul dari praktik jual beli rumah dan tanah yang tidak sah.

    Bila Anda ingin konsultasi dan atau membutuhkan penanganan kasus hukum,
    Hubungi kami: ProVeritas Lawyers
Read More
Penyelesaian Hutangpiutang
Penyelesaian Hutang-piutang
Hutang - Piutang
Hutang-piutang sering berakhir dengan masalah ketika salah satu pihak tidak mematuhi kewajiban yang dulunya diperjanjikan. Hubungan perdata antara yang meminjamkan (kreditur) dengan peminjam (debitur) bisa dengan surat perjanjian atau dengan lisan.

Dengan surat perjanjian atau lisan sama-sama dapat dimintai pertanggungjawaban di hadapan hukum.

Bila peminjam nampaknya tak lagi menunjukkan itikad baik meski masih memiliki kesanggapun, ada baiknya kreditur menempuh jalan dengan cara-cara yang elegan. Bila dengan surat perjanjian maka peminjam diduga telah melakukan wanprestasi atau cidera janji. Sedangkan bila hanya dengan lisan tanpa surat perjanjian hutang-piutang, si peminjam dapat diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Sebelum menempuh jalur hukum melalui pengadilan, ada baiknya si peminjam diberi peringatan (somasi). Bila somasi tidak mengubah keadaan, kreditur sebaiknya mengajukan gugatan ke pengadilan negeri domisili debitur. Adapun hal-hal yang perlu dipersiapkan adalah bukti-bukti yang berlaku di pengadilan, yakni bukti surat, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.

Bukti Surat adalah segala sesuatu bentuk tertulis yang menunjukkan hubungan kedua belah pihak terkait hutang-piutang.

Bukti Saksi adalah pihak-pihak atau setiap orang yang dapat dimintai keterangan atas peristiwa hukum tersebut, baik berdiri sebagai saksi dalam surat perjanjian maupun sekedar tahu-menahu atas transaksi kedua belah pihak.

Bukti Persangkaan adalah persangkaan menurut undang-undang yang digariskan dalam Pasal 1916 KUHPerdata dan persangkaan hakim sebagaimana terdapat dalam Pasal 1922 KUHPerdata.

Bukti Pengakuan sebagai alat bukti (Pasal 174-176 HIR dan 1923 KUH Perdata) yaitu pernyataan atau keterangan yang disampaikan di hadapan hakim tentang hal-hal yang terkait dengan hutang-piutang. Sedangkan Bukti Sumpah dalam Pasal 1929, dibagi menjadi 3 jenis yaitu, sumpah decisoir atau sumpah pemutus, sumpah suppletoir atau sumpah tambahan dan sumpah aestimatoire atau sumpah penaksir.

Bukti Sumpah menurut Yahya Harahap adalah alat bukti berupa keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan:

  1. Agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu, takut atas murka Tuhan apabila dia berbohong;

  2. Takut kepada murka atau hukuman Tuhan dianggap sebagai daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya.

Kelima alat bukti diatas akan baik bila dapat semua dipenuhi. Namun hal itu jarang terjadi. Diperlukan konsultasi dengan ahli hukum untuk menemukan alat bukti mana saja yang dapat menguatkan gugatan nanti di pengadilan.

Dan dalam gugatan, penggugat dapat menuntut berbagai kerugian yang dialaminya akibat dari wanprestasi atau perbuatan melawan hukum si peminjam. Artinya penggugat layak mengira, bila sekiranya si peminjam tidak ingkar janji atau melawan hukum sesuai kesepakatan, penggugat (kreditur) berpotensi mendapat keuntungan yang lebih besar.

Ingat, bila hubungan antara kreditur dan debitur tidak mengatur bunga pinjaman dalam perjanjian maka menurut UU, penggugat berhak setidak-tidaknya dapat menuntut bunga 6%.

Bila Anda ingin konsultasi dan atau membutuhkan penanganan kasus hukum,
Hubungi kami: ProVeritas Lawyers
Read More
Apa Kabar Tetangga Anda
Apa Kabar Tetangga Anda?
Membantu Tetangga Yang Buta Tehnologi Informasi
Adalah kewajiban manusia saling membantu terutama dalam hal kesulitan. Tetapi banyak orang yang ingin membantu orang lain yang tengah dalam kesusahan tetapi tidak saling mengetahui keberadaan satu sama lain.

Di era kemudahan bahkan kemewahan akses informasi ini tidak serta merta dapat dinikmati semua orang. Ada saja warga masyarakat yang tidak seberuntung dengan kita. Mereka kerap dihimpit kesusahan dan kesepian di tengah-tengah keramaian. Itu karena mereka tidak tahu harus melakukan apa dan bertanya kepada siapa untuk keluar dari masalah ketidak-adilan.

Proses hukum tidak selalu proses prosedural gugat-menggugat atau pelapor-terlapor. Proses hukum terbaik dan tertinggi adalah ditemukannya perdamaian setelah kesepakatan yang adil. Bahkan hukum ada untuk mengulurkan tangan bagi yang memerlukannya. Hal sederhana itu sering terlalu jauh dikarenakan absennya pihak ketiga sebagai mediator.

Bila Saudara mengetahui seseorang atau sebuah keluarga sedang atau telah ditimpa kesulitan karena ketidak-adilan, sudilah kiranya menjembatani kami dengan mereka. Sapaan kami mungkin dapat mengurangi beban mereka.

Mari sama-sama hadir dan berguna dengan berusaha berbuat sekecil apapun demi kedamaian dan kebahagian di bumi sejak dari Indonesia.

Bila Anda ingin konsultasi dan atau membutuhkan penanganan kasus hukum,
Hubungi kami: ProVeritas Lawyers
Read More